Cerpen ini ditulis oleh Ketty Husnia W Nugraheny dalam rangka TV RUSAK EVENT "Sejuta Pohon Untuk Dunia". Anda juga bisa mengirimkan cerita baik itu artikel, cerpen, atau puisi ke tvrusaknews@tvrusak.com. Keterangan lebih lanjut, klik link INI.
Cerita Lembar
Daun Ajaib
Hari ini aku menemukan beberapa lembar daun yang berisi tulisan terikat
rapi dalam satu tali, jatuh di teras rumah kontrakanku. Anehnya mengapa harus
menyasar ke tempatku tanpa kutahu siapa yang menyelipkannya.
Tergesa-gesa aku melepas ikatannya lalu lembar demi lembar kuletakkan
berjejer di meja tamu. Kuambil lembar daun pertama. Sapaan hangat yang tak
pernah kukenali sebelumnya tertulis rapi.
“Selamat pagi awak bumi! Siapkah melanjutkan hidupmu hari ini?”
“Tentu saja, ada banyak tugas kantor yang harus kuselesaikan,” sahutku
dalam hati.
“Matahari sedang bermurah hati mampir di kota kita, marilah bangun dan
bangkit dari lelapmu dan sibak tirai gelapmu. Hari ini ada yang sedang menunggu
kerelaan kita” lanjut tulisan itu.
“Siapa? Siapakah dia? Apakah seorang yang mempunyai banyak rupiah?
Ataukah sesuatu yang mewah dan telah lama kuimpikan?”. Dahiku berkernyit,
setengah ingin tahu.
“Mari kutunjukkan, ikut denganku menuju halaman rumahmu!”
“Ah, malas,” tolakku.
Halaman rumah kontrakanku telah lama gersang. Apalagi udara panas sangat
betah menyambangi rumah mungil sewaan ini. Lagipula aku tak punya waktu untuk
hal sepele itu. Hendak diubah jadi apa jika aku menyisakan waktu untuknya?
“Disana ada banyak pot kosong yang menganggur sedang terpana nelangsa.
Ada banyak bibit-bibit berserakan yangtak terawat,” untaian tulisan itu
mengusikku lagi.
Sok tahu!aku sudah bekerja sebelas tahun, tak perlu menyentuh barang itu
pun aku bisa makan. Aku nyaris berteriak geram membaca kalimat ini. Lagipula
bibit-bibit itu kan bukan sengaja kutanam. Aku malas membuang biji-bijian sisa
buah yang kumakan ke tempat sampah. Aku tak punya. Ibu bilang negeriku ini
super subur jadi jika aku melempar biji apapun, bisa tumbuh sendirinya, mangga,
rambutan, jambu air, jambu biji hingga kelengkeng ada di halaman bertanah yang
becek itu. Kecuali biji-biji dari pepohonan keras yang banyak disukai penebang
dan tukang kayu itu. Aku belum pernah mencobanya, sekalipun.
“Peganglah ia! Sentuhlah dengan rasa iba dan mulailah bekerja! Pinta
tulisan itu memohon.
“Aku tak suka menanam. Apalagi bersentuhan dengan tanah kotor yang dulu
selalu dilarang oleh orangtuaku. Mereka kerap berteriak, itu kotor!”
Dulu aku suka mencuri-curi kesempatan dengan teman sepulang sekolah,
membuat mainan dari tanah tapi sejak tahu bahwa tanah adalah biangnya sumber
penyakit, aku tak ingin berdekatan. Dulu aku juga suka main ke kebun yang penuh
pohon buah-buahan milik ayah. Memetik buahnya dan menikmati udara segar di
dalam kebun adalah kesukaanku. Tapi sejak ayah membutuhkan uang untuk membayar
hutang, aku tak bisa menahannya demi perut kami.
“Aku tak menyuruhmu bergumul dengan tanah,” kalimat itu mengecamku.
Seakan ia tahu apa yang ada di perasaanku.
“Aku sedang meminta kebaikan hatimu untuk mencintai benih-benih. Apakah
kau ingat bahwa kita menumpang hidup pada ibu bumi. Dia sudah memberikanmu
segalanya, makanan, minuman dan segala keperluan untuk hidup darti tumbuhan dan
hewan yang diciptakan Ilahi. Mana rasa pedulimu? Jika kau tak berusaha
mengembalikan apa yang telah kau ambil dari bumi maka bumi akan
menyingkirkanmu.”
Kali ini, kecaman kalimat itu membuatku memutar mundur masa lalu, masa
remaja. Aku yang senang berpetualang, lebih suka bermain ke hutan di tepi
pantai. Hutan cemara laut membuatku betah daripada di rumah. Di sana lebih
dingin, sejuk dan segar. Aku merasa hidup. Demikian juga dengan burung-burung
yang menari di antara ranting pohon. Bahkan tupai yang berkeliaran di antara
pohon kelapa yang berjajar di sepanjang pantai pun kupastikan menikmatinya. Kini
aku mendengar kerusakan hutan pantai itu. Tambak yang menjejal menjadi pilihan
sulit bagi warga demi selembar uang dan rasa kenyang. Resahku pun terulang
menjadi kenangan pahit.
Kuremas lembar daun yang semakin memojokkanku. Nyaris kubuang dan
kubakar karena rasa tak adil.
“Semuanya tak adil,”bisikku pelan pada diri sendiri. “Tega benar! Jika
aku yang peduli, apakah orang lain akan peduli?”
Jika hanya aku yang melakukannya, apakah ibu bumi tetap akan
mengasihiku? Jika mereka yang merusak lebih banyak daripada aku, apakah ibu
bumi akan menolongku?
“Tunggu dulu awak bumi yang baik..” Kali ini tulisan itu berbicara.
Setiap huruf yang tertulis berubah wujud mengelilingiku, menawan gerakku. Aku
bagai patung yang siap menghadapi hukuman.
“Kau adalah orang baik. Semua awak bumi pun orang baik. Mereka hanya
belum menyadarinya. Bantulah ibu bumi. Sediakan waktu untuk mencintainya. Biarkan
mereka menebang pohon seenaknya. Biarkan mereka mengganti hutan dengan gedung
mewah bertingkat. Biarkan taman hijau lenyap demi fasilitas hidup manusia
hedonis.
Karena ibu bumi masih memilikimu. Pada waktu yang telah dijanjikanNya,
bumi akan hancur beserta isinya. Sisa hidupmu masih panjang karena itulah aku
terbang ke hatimu.”
Rayuan kalimat di lembar ini menyentuhku. Belum pernah seorang pun
menaruh rasa harap begitu besar kepadaku. Selama ini atasanku hanya memberi
tugas karena itulah pekerjaan yang harus kuselesaikan. Tak lebih. Bahkan kedua
orantuaku pun tak pernah memintaku melakukan pekerjaan berjasa. Bagi mereka,
aku bisa hidup mandiri saja sudah cukup.
Tiba-tiba huruf demi huruf itu menggenggam jariku dengan erat dan
berbisik di dekatku penuh kelembutan.
“Awak bumi yang baik, mari
melakukan jeda. Melakukan sesuatu yang berbeda demi manfaat besar bagi khalayak
dan bumi kita tercinta.”
Oh..aku yang selalu menganggap diriku perkasa dan tidak cengeng,
tiba-tiba meneteskan airmata mendengarnya. Tak banyak tapi cukup membuatku
trenyuh.
“Darimana aku harus memulainya?” Tanda tanya besar mengikuti ingin
tahuku.
Seiring dengan kalimat itu, Daun yang kugenggam, menggerakkan tanganku
tanpa kumau. Kakiku pun begerak tanpa kuminta. Semua terjadi tanpa kuinginkan.
Aku bagai robot yang diintruksikan oleh sebuah alat pengendali. Tak bisa
kutolak keinginan Daun yang kugenggam untuk melakukan permintaannya, keluar
rumah menuju jalan besar dengan sangat cepat. Kakiku melangkah tak terkendali
dan sekejap melayang tinggi di atas rumah, tiang listrik, gedung dan mendekati
awan. Ingin aku berteriak tapi Daun memintaku diam.
Daun menyuruhku menoleh ke sebuah hutan. Sepertinya disana hutan pohon
damar. Yah betul, aku bisa mengenalinya dari aroma dan bentuk daunnya yang
khas. Namun kami tak mampir, hanya melesat mendekat sesaat lalu Daun kembali
menarik tanganku ke atas dan menjatuhkanku ke sebuah tempat.
Daun menggeretku paksa. Tanganku tak menolak ketika sarung tangan masuk
ke sela jari. Dengan cekatan, aku mengambil tanah, pupuk dan mencampurnya di
dalam kotak kosong. Kantung plastik yang teronggok di dekat kakiku segera
kuambil dan kuisi dengan campuran tanah tersebut. Kuambil benih basah sengon
dan meletakkannya di dalam tanah. Kuulangi kembali pekerjaan itu hingga mungkin
mencapai ratusan. Aku tak menyadari sepenuhnya. Aku bekerja dengan cepat. Lalu
kusirami semua tanaman. Dan entah mengapa benih langsung berubah menjadi semai
mungil kemudian tumbuh membesar setinggi lututku.
Aku memukul kakiku. Memastikan ini adalah mimpi indah yang aneh. Tak
mungkin ada tanaman super di hadapanku yang tumbuh sekejap. Tapi Daun tak
menghendakiku untuk berpikir waras. Daun memaksaku memindah ratusan tanaman itu
ke sebuah lapangan kosong di dekat pemukiman. Sungguh aneh. Pekerja kantoran
seperti aku melakukan pekerjaan kasar, mencangkul tanah bahkan menanam pohon.
Anehnya lagi pohon itu melesat tumbuh dengan cepat dengan ketinggian mendekati
umur tumbuh sepuluh tahun. Ada apa gerangan? Pupuk apa yang membuat semua ini
bisa ajaib?
Rupanya Daun memahami kegalauanku. Aku terjatuh tepat di depan salah
satu rumah penduduk. Bukan aku yang menjatuhkan diri, tapi Daun itu memilih
pergi meningalkanku disana. Seorang Bapak mendekatiku dan tersenyum. Aku tak
bisa membalasnya. Otakku belum stabil dari rasa bingung yang mendera. Aku
memilih menjauh dari kerumunan massa yang mulai saling bercerita.
Rupanya aku bukkanlah topik utama mereka. Salah besar jika mereka
membicarakan kehadiranku. Mereka sedang mensyukuri nikmat yang menyerupai
rejeki nomplok. Hutan sengon yang tiba-tiba muncul di desa mereka adalah
anugerah setelah tanah longsor merusak lingkungan mereka. Satu persatu kudengar
ucapan janji dari para penduduk untuk tidak serakah dalam mengambil batang
pohon di hutan. Ada yang mengucapkan keinginan untuk menanam pohon buah-buahan
setelah mendapatkan bibit dan ada pula yang akan menanam ulang pohon sengon
jika banyak anakan pohon jatuh di sekitarnya.
Kugigit bibirku. Ini nyata. Jelas nyata. Aku pun mengurai janji, akan
melakukannya. Menanam meski hanya di halaman rumah yang bukan milikku itu. Tak
masalah. Apapun akan kulakukan demi hidup yang lebih baik. Selamat datang bibit
rambutan, leci, kelengkeng dan jambu yang bertebaran di halaman. Aku akan
datang menanammu dengan benar karena pohon adalah sumber kehidupan, bagiku dan
juga makhluk lain yang hidup di dalamnya.
Biodata:
Nama : Ketty
Husnia W
Hobby : Membaca,
menulis, menonton berita, film dan menyayangi tanaman
Email : kettyhusnia@gmail.com
Harapan di hari
Sejuta Pohon untuk Dunia:
Semoga
masyarakat lebih sadar terhadap pentingnya pohon bagi kehidupan manusia. Jenis
pohon apapun mengandung manfaat yang baik bagi lingkungan dan ekosistemnya,
terutama bagi diri sendiri. Jadi mari menanam meski hanya satu jenis pohon di
lingkungan terdekat kita, rumah. Pohon adalah kawan terbaik yang selalu setia
dan dibutuhkan dalam kondisi yang tak pernah kita sadari.