Apakah benar tidur orang yang berpuasa itu berpahala? Apakah benar seperti itu?
Seperti
yg telah kita sering dengar oleh sebagian da'i pada bulan Ramadhan yang
menyampaikan bahwa tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Bahkan
dikatakan ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sehingga dengan penyampaian semacam ini, orang-orang pun akhirnya
bermalas-malasan di bulan Ramadhan bahkan mereka lebih senang tidur
daripada melakukan amalan karena termotivasi dengan hadits tersebut.
Dalam tulisan yang singkat, kami akan mendudukkan permasalahan ini
karena ada yang salah kaprah dengan maksud yang disampaikan dalam hadits
tadi. Semoga Allah memudahkan dan menolong urusan setiap hamba-Nya
dalam kebaikan.
Derajat Hadits Sebenarnya
Hadits yang dimaksudkan,
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya
orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya
adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.”
Perowi hadits ini adalah ‘Abdullah bin Aufi. Hadits ini dibawakan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 3/1437. Dalam hadits ini terdapat Ma’ruf bin Hasan dan dia adalah perowi yang dho’if (lemah). Juga dalam hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amr yang lebih dho’if dari Ma’ruf bin Hasan.
Dalam riwayat lain, perowinya adalah ‘Abdullah bin ‘Amr. Haditsnya dibawakan oleh Al ‘Iroqi dalam Takhrijul Ihya’ (1/310) dengan sanad hadits yang dho’if (lemah).
Kesimpulan: Hadits ini adalah hadits yang dho’if. Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 4696 mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).
Tidur yang Bernilai Ibadah yang Sebenarnya
Setelah kita menyaksikan bahwa hadits yang mengatakan “tidur orang yang berpuasa adalah ibadah” termasuk hadits yang dho’if (lemah), sebenarnya maknanya bisa kita bawa ke makna yang benar.
Sebagaimana
para ulama biasa menjelaskan suatu kaedah bahwa setiap amalan yang
statusnya mubah (seperti makan, tidur dan berhubungan suami istri) bisa
mendapatkan pahala dan bernilai ibadah apabila diniatkan untuk
melakukan ibadah. Sebagaimana An Nawawi dalam Syarh Muslim (6/16) mengatakan,
أَنَّ الْمُبَاح إِذَا قَصَدَ بِهِ وَجْه اللَّه تَعَالَى صَارَ طَاعَة ، وَيُثَاب عَلَيْهِ
“Sesungguhnya
perbuatan mubah, jika dimaksudkan dengannya untuk mengharapkan wajah
Allah Ta’ala, maka dia akan berubah menjadi suatu ketaatan dan akan
mendapatkan balasan (ganjaran).”
Jadi tidur yang bernilai ibadah jika tidurnya adalah demikian.
Ibnu
Rajab pun menerangkan hal yang sama, “Jika makan dan minum diniatkan
untuk menguatkan badan agar kuat ketika melaksanakan shalat dan
berpuasa, maka seperti inilah yang akan bernilai pahala. Sebagaimana
pula apabila seseorang berniat dengan tidurnya di malam dan siang
harinya agar kuat dalam beramal, maka tidur seperti ini bernilai
ibadah.” (Latho-if Al Ma’arif, 279-280)
Intinya, semuanya
adalah tergantung niat. Jika niat tidurnya hanya malas-malasan
sehingga tidurnya bisa seharian dari pagi hingga sore, maka tidur
seperti ini adalah tidur yang sia-sia. Namun jika tidurnya adalah tidur
dengan niat agar kuat dalam melakukan shalat malam dan kuat melakukan
amalan lainnya, tidur seperti inilah yang bernilai ibadah.
Jadi ingatlah “innamal a’malu bin niyaat”, setiap amalan tergantung dari niatnya.
Semoga
Allah menganugerahi setiap langkah kita di bulan Ramadhan penuh
keberkahan. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmatnya, segala
kebaikan menjadi sempurna. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam, wal hamdu lillahi robbil ‘alamin.
Rujukan:
1. As Silsilah Adh Dho’ifah, Muhammad Nashiruddin Al Albani, Maktabah Al Ma’arif Riyadh, Asy Syamilah
2. Latho-if Al Ma’arif fil Mawaasim Al ‘Aam minal Wazho-if, Ibnu Rajab Al Hambali, Al Maktab Al Islamiy
3. Syarh Muslim, Abu Zakaria Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah
4. http://www.dorar.net/enc/hadith/نوم الصائم /pt
***
Diedit sebagian dari Tulisan Muhammad Abduh Tuasikal
sumber : www.rumaysho.com